Total Tayangan Halaman

Jumat, 16 Mei 2014

Pelajar Dua Tanah Yaman

 
Pelajar Dua Tanah Yaman

Awalnya, ia sendiri hanya merencanakan meninggalkan Indonesia hanya dalam waktu dua tahun saja. Namun semangatnya dalam menuntut ilmu telah membawanya berkelana selama empat tahun di dua kota pusat ilmu di tanah Yaman.
Hingga kini, sudah cukup banyak pelajar dari Indonesia yang berkesempatan menimba ilmu di kota Tarim, Hadhramaut, Yaman Selatan. Dari sekian banyak pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di kota Tarim tersebut, hampir tidak pernah terdengar ada di antara mereka yang juga mendatangi kota Zabid, Yaman Utara, untuk tujuan yang sama. Padahal, kota Zabid juga terkenal sebagai kota pusat ilmu.

Seperti halnya Tarim, sejak dulu hingga saat ini, kota Zabid banyak melahirkan ulama-ulama besar. Hingga dikatakan bahwa Zabid adalah Tarimnya Yaman Utara. Adalah Habib Quraisy, atau lengkapnya adalah Habib Muhammad Quraisy bin Mujtaba Alaydrus, satu di antara sedikit sekali pelajar Indonesia yang pernah tercatat menimba ilmu di Rubath Zabid, setelah beberapa tahun sebelumnya berguru di Rubath Tarim, Hadhramaut.

Meski masih terbilang muda usia, perjalanan hidup Habib Quraisy, pemuda kelahiran Malang 31 Juli 1975, sarat dengan hikmah, terutama pada masa-masa belajarnya di kota Zabid, Yaman Utara tersebut. Saat ini, putera dari pasangan Habib Mujtaba bin Mushthafa Alaydrus dan Syarifah Maryam binti Muhammad Ba’bud ini dipercaya untuk melanjutkan majlis rauhah kakeknya, Habib Muhammad bin Husain Ba’bud, Lawang, Jawa Timur, yang sempat vakum cukup lama, yaitu sejak wafatnya Habib Muhammad sekitar lima belas tahun yang lalu.

Hikmah Sakitnya Sang Kakek

Beberapa tahun silam, sewaktu Habib Muhammad bin Husain Ba’bud sedang menjalani operasi prostat sekitar lima tahun sebelum tutup usia, isteri Habib Muhammad Ba’bud yang bernama Syarifah Aisyah binti Husain Bilfagih, berharap agar ada dari salah seorang cucunya yang mau menemaninya. Di antara para cucunya itu, Habib Quraisy, yang pada saat itu masih berusia sekitar 12 tahun, bersedia memenuhi keinginan sang nenek.

Habib Quraisy pun kemudian tidur di kamar Habib Muhammad, pada ranjang yang berbeda. Ternyata, kebiasaan itu terus berlanjut, bahkan setelah Habib Muhammad sembuh dari sakitnya. Quraisy kecil tetap tidur satu kamar dengan Habib Muhammad bin Husain Ba’bud dan isterinya, Syarifah Aisyah binti Husain Bilfagih. Praktis, sebagian besar waktu dari masa kecilnya, dihabiskannya bersama dengan Habib Muhammad.

Tinggal sehari-hari bersama dengan Habib Muhammad Ba’bud tentunya merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga. Ketimbang merasa sebagai cucu, ia sendiri akhirnya lebih merasa bagaikan anak dari Habib Muhammad. Sejak saat itu, Habib Quraisy kerap terlihat mendampingi Habib Muhammad pada majlis-majlisnya. Ia juga mulai mengikuti pelajaran-pelajaran di Darun Nasyi’ien, pondok pesantren yang didirikan dan diasuh oleh kakeknya tersebut.

Setelah kurang lebih sekitar lima tahun mendampingi sang kakek, pada tahun 1993, Habib Muhammad wafat. Sekitar satu tahun setelah wafatnya Habib Muhammad, Habib Quraisy yang kala itu mulai beranjak remaja meninggalkan tanah kelahirannya dan merantau ke negeri seberang, Martapura, Kalimantan Selatan. Keberangkatannya ke Martapura kala itu ternyata menjadi awal langkah panjang perjalanannya dalam mengarungi pengembaraan keilmuannya di kemudian hari.

Paspornya tak Terpakai

Sekitar tahun 1994, ia mendengar kabar tentang Habib Umar Bin Hafidz yang mulai membuka pondok Darul Musthafa di Hadhramaut. Mendengar kabar itu, ia ingin sekali berangkat ke sana. Maka ia pun mulai mempersiapkan segala sesuatunya, termasuk mengurus pembuatan paspor. Rupanya takdir Allah SWT berkata lain. Setelah paspornya sudah jadi, karena disebabkan faktor biaya dan faktor-faktor lainnya, ia tak kunjung berangkat.

Namun semangat kuat dalam dirinya untuk ingin mengaji, membawa langkah kakinya ke bumi Martapura. Ia sendiri sebenarnya menyadari bahwa pendidikan di Pondok Pesantren Darun Nasyi’ien, tempatnya tumbuh besar selama ini, cukup bagus pula bagi dirinya. Akan tetapi karena pesantren tersebut ada dalam lingkungan keluarganya sendiri, ia khawatir dirinya tidak akan berusaha maksimal dalam menuntut ilmu.

Pada waktu itu, banyak santri Darun Nasyi’in yang berasal dari Banjar. Suatu hari terdengar kabar tentang rencana penyelenggaraan haul KH Anang Sya’rani Arif, seorang ulama besar di Martapura. KH Anang Sya’rani Arif adalah kawan seperguruan KH Syarwani Abdan, Tuan Guru Bangil. Saat itu, salah satu cucu KH Anang Sya’rani Arif yang merupakan santri pondok Darun Nasyi’in, mengajaknya untuk menghadiri acara haul tersebut.

Sesampainya di Martapura ia berjumpa dengan Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi, tokoh Alawiyyin di sana kala itu. Ia kemudian diajak shalat berjamaah bersama Habib Abubakar. Seusai shalat, Habib Abubakar yang saat ini berdomisili di Surabaya mengatakan kepadanya, “Ente semestinya jangan di sini, ente harus ke Tarim.” Demikian pesan Habib Abubakar kepadanya saat perjumpaannya pertama kali di Martapura pada waktu itu.

Memang, pada dasarnya dirinya pun berpikir seperti itu. Ia sendiri menyayangkan paspornya yang sudah jadi, tapi akhirnya tidak terpakai. Tapi ia sempat berpikir, insya Allah pintu untuk menuntut ilmu di Tarim harus melewati Martapura dulu. Setelah batal berangkat ke Tarim pada saat itu, maka daripada tidak pergi sama sekali, ia memutuskan lebih baik ia mengaji dulu di kota Martapura.

Pada awalnya, ia tidak bermaksud tinggal di rumah Habib Abubakar. Akan tetapi setelah pertemuan itu akhirnya ia hidup bersama Habib Abubakar selama enam bulan pertama keberadaannya di Martapura. Karena ingin mandiri, setelah enam bulan ia memutuskan untuk kos, dan tidak lagi tinggal serumah dengan Habib Abubakar.

Di Martapura, ia menaruh simpati pada cara mengajar Tuan Guru Zaini. Sekitar dua tahun lamanya ia melazimi majelis-majelisnya Guru Ijai, panggilan akrab Tuan Guru Zaini. Materi pengajaran Guru Ijai yang diikutinya, kebanyakan lebih menekankan pada aspek tashawuf. Meski sistem pengajaran Guru Ijai hanya seperti pada sebuah pengajian di majlis ta’lim, namun apa yang ia dapat dari pelajaran-pelajaran tashawuf yang disampaikan Guru Ijai itu dirasakannya sangat membekas pada dirinya.

Selain pada Guru Ijai, di sana ia juga sempat masuk Madrasah Darussalam, sebuah lembaga pendidikan agama terbesar (pondok pesantren dan madrasah) di Martapura yang didirikan oleh Tuan Guru Kasyful Anwar. Ia juga sempat belajar ilmu-ilmu alat (perangkat tata bahasa Arab) kepada Guru Syukri di rumahnya.

Lebih Banyak yang Tak Resmi

Habib Quraisy, yang saat ini telah dikarunia tiga putera bernama Muhammad, Ahmad, dan Husain dari hasil pernikahannya dengan Syarifah Mas’adurridha binti Abdullah Al-Hamid, akhirnya pada tahun 1997 ditakdirkan juga berangkat ke Hadhramaut, sebagaimana yang telah menjadi impiannya selama ini. Keberangkatannya ini tak terlepas dari berkat doa kedua orang tuanya dan peran penting Habib Abubakar bin Hasan Al-Attas Az-Zabidi yang membiayai keberangkatannya tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar